Saturday 1 December 2012

Skema Baru Penempatan TKI ke Singapura (Bagian I)


PENDAHULUAN
Di tanah air akhir-akhir ini telah banyak dibahas oleh para pengambil keputusan di tingkat institusi pemerintahan yang terkait sektor ketenagakerjaan mengenai regulasi penetapan biaya penempatan TKI (dalam hal ini adalah PLRT) ke luar negeri.

Hal ini terkait dengan adanya keluhan dari berbagai lapisan masyarakat baik dari para calon TKI, perusahaan penempatan/PPTKIS (yang sering disebut sebagai PT), agensi tenaga kerja di luar negeri maupun LSM dan masukan dari institusi pemerintah sendiri mengenai tingginya biaya penempatan calon TKI khususnya ke wilayah Asia Pasifik, karena dimasukannya unsur biaya sponsor ke dalam komponen biaya penempatan tersebut.

Seperti diketahui, dan telah menjadi rahasia umum, bahwa seorang calon TKI yang akan berangkat untuk bekerja ke luar negeri biasanya diproses melalui jalur sponsor (recruiter atau PL) sebelum yang bersangkutan masuk pelatihan di Balai Latihan  Kerja/BLK atau PT. Sponsor mendapatkan fee dari BLK/PT sebagai jasa perantara yang mendatangkan seorang calon TKI. Fee dimaksud sebetulnya juga termasuk “uang saku” yang dibayarkan ke calon TKI ataupun ke keluarganya sebagai “tanda jadi” bahwa yang bersangkutan bersedia diberangkatkan ke luar negeri sebagai PLRT. Dari pengamatan KBRI, uang saku bisa berkisar antara Rp 2 juta s/d Rp 4 juta per calon TKI, sehingga fee dari PT kepada sponsor minimal mencapai Rp 8 juta, yang meliputi juga biaya untuk pembuatan dokumen-dokumen yang diperlukan. Hal ini ditengarai juga karena banyak calon TKI yang diberangkatkan belum cukup umur, sehingga diperlukan pemalsuan dokumen seperti akte kelahiran, KTP, Kartu Keluarga, ijazah sekolah yang “aspal”, asli namun dengan data identitas yang dipalsukan.

Kepada para agensi di Singapura, pihak PT menawarkan biodata setiap calon TKI dengan harga berkisar antara S$2200 s/d S$2600 (atau Rp 16-18 jutaan). Setelah itu, agensi akan menambahkan beban potongan yang bertajuk “agency fee” sesuai dengan peraturan MOM yakni sebesar dua bulan gaji. Hasil akhirnya, dengan beban total berkisar antara S$3000 s/d S$3500, calon TKI harus membayar biaya tersebut dengan gaji hasil keringatnya selama 7 hingga 8,5 bulan (potongan gaji). Sedikit melegakan namun tidak seberapa, ada sisa gaji yang dapat diterima setiap bulannya dalam masa potongan sebesar S$ 10 atau S$20 sekedar untuk “pocket money”.

Dalam pengamatan KBRI, dengan beban potongan sedemikian besar menimbulkan efek samping negatif yang menimpa para TKI yang baru bekerja di luar negeri. Salah satunya adalah motivasi kerja yang rendah, sehingga ketika terjadi suatu masalah/dispute antara TKI dengan majikan, yang diinginkan adalah meminta pulang ke Indonesia sebelum periode kontrak kerjanya habis. Dalam 3 tahun terakhir, kasus demikian (dengan istilah disharmoni) yang ditangani oleh KBRI rata-rata mencapai 1500 orang TKI per tahunnya.

Selain itu, ketidaktahuan terhadap sistem potongan yang diterapkan oleh pihak agensi Singapura menyebabkan para TKI merasa tertipu, karena sewaktu di Indonesia potongan gaji hanya dijanjikan berlangsung selama enam bulan saja. Pihak PPTKIS dalam hal ini cenderung membiarkan praktek potongan yang besar kepada TKI oleh agensi terjadi. Sedangkan aturan dari KBRI yang membatasi besaran hutang  sebesar $1800 atau maksimal potongan 6 bulan melalui perjanjian job order/recruitment agreement yang ditandatangani antara PPTKIS dengan agensi tidak efektif karena kurangnya pengawasan dan cenderung diabaikan oleh kedua belak pihak.

PEMECAHAN MASALAH                          
Berangkat dari kondisi yang memilukan ini dan dalam rangka membasmi praktek yang tidak berperi-kemanusiaan tersebut, pemerintah telah berupaya mencari jalan keluar atas permasalahan yang menimpa calon-calon TKI yang sebagian besar adalah kalangan yang tidak mampu  (bersambung).


Dimuat di HPLRTIS Newsletter Edisi No 10
Fungsi Protokol dan Konsuler KBRI Singapura

No comments:

Post a Comment